Senin, 21 Februari 2011

ĀDICCUPAṬṬHĀNA- JĀTAKA

ĀDICCUPAṬṬHĀNA- JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Tidak ada bangsa,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menipu (curang).
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan di dalam sebuah keluarga brahmana di Kāsi. Setelah dewasa, dia pergi ke Takkasilā dan menyelesaikan pendidikannya di sana. Kemudian dia menjalankan kehidupan suci sebagai seorang petapa, mengembangkan kesaktian, pencapaian meditasi, dan menjadi pembimbing dari sekelompok besar murid, dia menjalankan kehidupannya di Himalaya.
Di sana dia tinggal dalam jangka waktu yang lama; sampai suatu hari, dia turun dari gunung dan pergi ke perbatasan desa untuk memperoleh garam dan rempah-rempah, dan dia tinggal di sebuah gubuk yang terbuat dari daun.

Ketika semuanya pergi berkeliling untuk mendapatkan derma makanan, seekor kera jahat biasanya memasuki pertapaan mereka dan memorak-porandakan semua isinya, menumpahkan air dari kendi-kendi, memecahkan kendi-kendi tersebut, dan mengakhirinya dengan mengacaukan tempat perapian.
Setelah musim hujan berakhir, para petapa berpikir untuk kembali dan berpamitan kepada penduduk desa; “Sekarang ini,” pikir mereka, “bunga-bunga dan buah-buahan yang ada di gunung sudah masak.” “Besok,” jawab para penduduk, “kami akan datang ke tempat tinggal Bhante dengan membawa dana makanan; makanlah terlebih dahulu sebelum pergi.” Maka pada keesokan harinya, mereka datang ke sana dengan membawa makanan yang banyak, keras dan lunak.

Sang kera berpikir di dalam hatinya, “Saya akan menipu dan membujuk orang-orang ini agar memberikan sedikit makanan kepadaku juga.” Jadi dia menunjukkan dirinya seperti petapa yang sedang meminta derma makanan, [73] dan dengan berdiri di dekat para petapa, dia memuja matahari.

Ketika orang-orang melihatnya, mereka berpikir, “Mereka yang tinggal bersama dengan orang suci adalah orang suci juga,” dan mengulangi bait pertama:

Tidak ada bangsa hewan
yang memiliki disiplin moral seperti ini:
Lihatlah bagaimana kera malang ini
berdiri di sini memuja matahari!

Dengan cara itu orang-orang memuji moralitas sang kera. Tetapi Bodhisatta, yang mengamatinya, menjawab, “Kalian tidak mengetahui kelakuan dari seekor kera jahat. Jika kalian tahu, maka kalian tidak akan memuji dia yang hanya berhak mendapatkan sedikit pujian,” dan menambahkan bait kedua:

Kalian memuji sifat makhluk ini
karena tidak mengenalnya;
Dia telah merusak api suci
dan memecahkan semua kendi air.

Pada saat orang-orang mendengar betapa jahatnya kera tersebut, dengan menggunakan kayu-kayu dan bongkahan-bongkahan tanah, mereka melemparinya dan memberikan dana makanan mereka kepada para petapa.

Orang-orang suci itu kembali ke Himalaya; dan tanpa terputus dalam meditasi (jhana), mereka akhirnya terlahir di alam brahma.
____________________

Pada akhir uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Bhikkhu yang menipu pada masa itu adalah sang kera; para pengikut Buddha adalah sekelompok orang suci itu, dan pemimpin mereka adalah diri-Ku sendiri.”

Sumber : www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/adiccupatthana-jataka/
Read More..

Minggu, 23 Januari 2011

BUDDHA KAKUSANDHA

Buddha KEEMPAT yang disebutkan dalam Atanatiya Paritta.
Buddha Kakusandha dikenal sebagai Buddha ke 22 dalam tradisi Pali.
Beliau dilahirkan di Taman Khema. Nama ayahNya adalah Aggidatta yang menjadi seorang pendeta Brahmin di masa Raja Khemankara di Khemavati. Nama ibuNya adalah Visakha. Nama istriNya adalah Virochamana dan Uttara adalah putraNya.

Beliau melepaskan kehidupan duniawi di sebuah kereta kuda pada umur 4.000 tahun; dan melakukan latihan keras selama 8 bulan. Beliau menerima nasi susu dari seorang gadis Brahmin Vajirindha dari desa Suchirindha tepat sebelum pencapaian pencerahanNya; dan duduk di tempat duduk rumput yang disediakan oleh Subbhadda. Beliau mencapai pencerahan di bawah pohon Sirisa; dan menyampaikan kotbah pertamaNya kepada perkumpulan 84.000 bhikkhu di suatu taman dekat Makila.
Diantara para bhikkhu Vidhura dan Sanjiva adalah murid utamaNya; dan diantara para bhikkhuni adalah Sama dan Champa. Pembantu pribadi utamaNya adalah Buddhija. Diantara para pendukung pria Acchuta dan Samana adalah yang utama; sedangkan diantara para pendukung wanita Nanda dan Sunanda adalah pendukung utamaNya. Acchuta mendirikan sebuah vihara untuk Buddha Kakusandha di tempat sama dimana Anathapindika belakangan mendirikan Jetavana Arama untuk Buddha Gotama.
Menurut Samyutta Nikaya (II. 194) gunung Vepulla Rajgir saat itu dinamakan Pachinvamsa; dan rakyat dari daerah Tivara.
Beliau meninggal pada umur 40.000 tahun.
Bodhisatva pada jaman Buddha Kakusandha dilahirkan sebagai raja Khema.
Lihat juga pada:
1. Dipavamsa ii.66, xv.25, 34;
2. Mahavamsa xv. 57-90
3. Digha Nikaya ii.7;
4. Majjhima Nikaya i.333;
5. Buddhavamsa xxiii;
6. Buddhavamsa Atthakatha 209 ff
Dalam teks-teks Buddhis Sansekerta nama Buddha adalah Krakucchanda. Lihat Divyavadana 254, 418 f.; Mahavastu iii. 247, 330

Sumber : http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/buddha-kakusandha/
Read More..

Kamis, 20 Januari 2011

Bodhisattva Sangharama (Guan Yu dalam Agama Buddha)

Dikisahkan dalam Catatan Kisah Tiga Negara (San Guo Yan Yi – 三国演义), raga halus Guan Yu bersama dengan Guan Ping dan Zhou Cang muncul di hadapan Bhikshu Pujing pada malam hari ketika Guan Yu gugur dipenggal oleh pihak Sun Quan. Semasa hidupnya, Guan Yu pernah ditolong oleh Pujing di Vihara Zhenguo.
Berdasarkan catatan sejarah Buddhis – Fozhu Tongji (佛祖統紀 – Taisho Tripitaka 2053), pada tahun 592 M, disebutkan bahwa raga halus Guan Yu bersama den- gan Guan Ping, memohon Trisarana dan Pancasila pada YM Zhiyi, pendiri ali- ran Buddhisme Tiantai di Tiongkok. Mereka membantu sang bhiksu mendirikan Vihara Yuquan, Dangyang, Hubei. Yang Guang, Pangeran Jin (yang kelak akan dikenal sebagai Kaisar Sui Yang Di – 隋煬帝). Pangeran Yang Guang memberi- kan Guan Yu gelar “Sangharama Bodhisattva”.
Prasasti bertajuk 820 M yang mencatat kejadian pertemuan antara Guan Yu den- gan Zhiyi. Zhang Shangying yang hidup pada tahun 1081 M telah mengatakan bahwa Guan Yu adalah Pelindung Dharma. Guan Miao di Vihara Yuquan dise- but-sebut sebagai “Tian Xia Di Yi Guan Miao”. Catatan Pemugaran Kuil Guan Yu Gunung Yuquan (重修玉泉山关庙记) yang ditulis oleh Dong Ting semasa Dinasti Tang pada tahun 820 mengisahkan pertemuan Guan Yu dengan Zhiyi.

Guan Yu juga dikenal di kalangan Vajrayana. Banyak sekali Acharya Tibetan yang memiliki hubungan spiritual dengan beliau, seperti misalnya Changkya Khutukhtu Rolpay Dorje, Panchen Lama ke-5 Lobsang Yeshe, dan Karmapa ke- 17 Orgyen Trinley Dorje.


Sumber : http://dhammacitta.org/perpustakaan/kategori/ebook/ajaran-mahayana/
Read More..

227 PATIMOKKHA SIKKHAPADA – PERATURAN KE-BHIKKHUAN ( Suttavibhanga)

227 PATIMOKKHA SIKKHAPADA – PERATURAN KE-BHIKKHUAN

(Sumber : Navakovada,
Oleh : HRH The Late Supreme Patriarch Prince Vajirañãnavarorasa,
Alih Bahasa : Bhikkhu Jeto, Penerbit : Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta 1989)

Peraturan-peraturan ke-Bhikkhu-an yang ditentukan oleh Sang Buddha (Sikkhapada) meliputi :
  1. Yang ada didalam Patimokkha.
  2. Yang tidak ada dalam Patimokkha.
Yang ada dalam Patimokkha meliputi:

1. Empat Parajika.
2. Tiga belas Sanghadisesa.
3. Tiga puluh Nissaggiya-pacittiya.
4. Dua Aniyata.
5. Sembilan puluh dua Pacittiya.
6. Empat Patidesaniya.
7. Tujuh puluh lima Sekhiyavatta.

Tujuh peraturan tersebut di atas meliputi 220 dan ditambah 7 Adhikarana Samatha, semuanya berjumlah 227 peraturan.

EMPAT PARAJIKA.
  1. Seorang Bhikkhu yang melakukan hubungan sex maka ia melakukan Parajika.
  2. Seorang Bhikkhu yang mengambil sesuatu yang belum diberikan oleh yang mempunyai/pemilik dan mempunyai nilai seharga 5 masaka atau lebih, maka ia melakukan Parajika.
  3. Seorang Bhikkhu yang secara sengaja membunuh seorang manusia/ menyebabkan seorang manusia terbunuh, maka ia melakukan Parajika.
  4. Seorang Bhikkhu yang menyombongkan Uttarimanusadhamma (tingkatan perkembangan bathin, yang lebih tinggi daripada tingkat manusia biasa) yang sebenarnya belum dicapainya, melanggar Parajika.

TIGA BELAS MACAM SANGHADISESA.
  1. Seorang Bhikkhu yang secara sengaja menyebabkan dirinya mengeluarkan air mani (rancap), melakukan Sanghadisesa.
  2. Seorang bhikkhu yang terangsang birahinya, mengucapkan kata-kata yang merayu dan tidak sopan di hadapan seorang wanita, melakukan Sanghadisesa.
  3. Seorang Bhikkhu yang terangsang nafsu birahinya menyentuh tubuh seorang wanita, melakukan Sanghadisesa.
  4. Seorang Bhikkhu yang terangsang nafsu birahinya, mengucapkan kata-kata secara menggoda bahwa seorang wanita seharusnya menikmati hubungan kelamin/sex dengan seorang laki-laki, melakukan Sanghadisesa.
  5. Seorang Bhikkhu yang memainkan peranan sebagai tukang mencarikan jodoh yang membuat seorang pria dan seorang wanita menjadi suami istri, melakukan Sanghadisesa.
  6. Jika seorang Bhikkhu sedang mendirikan gubuk, yang dari tanah hat/ campuran semen, dan yang ditempatinya sendiri tanpa ada penghuni lain, harus memenuhi praturan-peraturan tertentu seperti berikut : Panjang gubuk = 12 ukuran segitiga dan lebarnya harus = 7 Sugata, dan letak gubuk tersebut harus mendapat persetujuan dari Sangha akan letaknya. Jika lebih luas dari peraturan tersebut tadi, maka Bhikkhu tersebut melakukan Sanghadisesa.
  7. Jika gubuk tadi dibangun dengan seorang dayaka yang menjadi pemiliknya, ukurannya dapat dibuat lebih besar dari peraturan tersebut di atas, tetapi letaknya harus mendapat persetujuan dari Sangha terlebih dahulu. Jika Sangha tidak dimintai persetujuan mengenai letaknya, maka Bhikkhu tersebut melakukan Sanghadisesa.
  8. Jika seorang Bhikkhu yang marah dan jengkel secara sengaja menuduh Bhikkhu lain melakukan pelanggaran Parajika apatti, yang tidak berdasarkan atas bukti dan kenyataan, maka ia melakukan Sanghadisesa.
  9. Jika seorang Bhikkhu yang merasa marah dan jengkel secara dengan alasan yang dibuat-buat maupun dengan tipu muslihat, menuduh Bhikkhu lain melakukan pelanggaran Parajika appati, maka Bhikkhu tersebut melakukan Sanghadisesa.
  10. Jika seorang Bhikkhu memecah belah Sangha dan menimbulkan pertentangan dalam Sangha walaupun Bhikkhu-bhikkhu lain melarang berbuat demikian, tetapi Bhikkhu tersebut tidak mau mematuhi, maka Sangha harus mengumumkan KAMMA VACA dengan maksud untuk memperingatkan Bhikkhu tersebut, supaya menghentikan sikap-sikapnya itu, bila Bhikkhu tersebut tetap tidak mematuhi, dia melakukan Sanghadisesa.
  11. Jika seorang Bhikkhu mengikuti sikap seorang Bhikkhu yang berusaha memecah belah Sangha tadi (seperti nomor 10) dan walaupun Bhikkhu lain telah melarangnya tapi Bhikkhu itu tak mau mematuhinya, maka Sangha harus mengumumkan KAMMAVACA, dengan maksud memperingatkannya supaya menghentikan sikap-sikapnya itu, jika ia tetap tidak mau menghentikan sikapnya, maka ia melakukan Sanghadisesa.
  12. Jika seorang Bhikkhu sukar diajar dan dibetulkan sikapnya yang salah dan Bhikkhu-bhikkhu yang lain telah memperingatkannya bahwa seharusnya dia jangan seperti itu tetapi Bhikkhu itu tidak mau mematuhi, maka Sangha harus mengumumkan KAMMAVACA dengan maksud memperingatkannya supaya menghentikan sikapnya itu, bila Bhikkhu tersebut tetap tidak mau mematuhi maka ia melakukan Sanghadisesa.
  13. Jika seorang Bhikkhu memuji dan menyinggung-nyinggung orang awam dengan maksud untuk menarik keuntungan dari mereka, dan Bhikkhu lain mengusirnya dari tempat tinggalnya, dan sebaliknya lalu mengkritik mereka, dan walaupun seorang Bhikkhu lain memperingatkannya agar supaya dia tak berbuat demikian, tetapi dia tak mematuhinya, maka Sangha harus mengumumkan KAMMAVACA dengan maksud untuk memperingatkan Bhikkhu tersebut, jika Bhikkhu tersebut tetap tidak mau mematuhi maka ia melakukan Sanghadisesa.

DUA ANIYATA.
  1. Jika seorang Bhikkhu duduk dengan seorang wanita di suatu tempat yang terpencil (dimana mereka mengira tak dapat terlihat) dan seorang umat biasa yang dapat dipercaya mengatakan Bhikkhu tersebut telah melakukan Parajika, Sanghadisesa atau Pacittiya dan bhikkhu tersebut membenarkan pernyataan tersebut, maka hal tersebut harus diselesaikan sesuai dengan pelanggaran yang telah dilakukan menurut golongan pelanggaran peraturan yang telah disebutkan oleh umat awam tadi.
  2. Jika seorang Bhikkhu duduk berdua dengan seorang wanita di suatu tempat yang terpencil (dimana ia mengira tak dapat terlihat) atau tidak memungkinkan orang lain mendengarkan pembicaraannya. Dan seorang umat awam yang dapat dipercaya mengatakan bahwa bhikkhu tersebut telah melakukan Parajika, Sanghadisesa atau Pacittiya dan Bhikkhu itu membenarkan pula pernyataan tersebut maka persoalan ini harus diselesaikan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan atau menurut golongan pelanggaran peraturan yang disebutkan di atas/yang disebutkan umat awam tadi.

TIGA PULUH NISAGGIYA PACITTIYA.

Terbagi atas tiga kelompok yang masing-masing terdiri atas 10 peraturan.

KELOMPOK PERTAMA : CIVARAVAGGA – Mengenai Jubah.
  1. Seorang Bhikkhu diperbolehkan menyimpan jubah baru/ekstra paling lama sepuluh hari, jika menyimpan jubah tersebut lebih dari sepuluh hari, maka ia melakukan pelanggaran Nissaggiya Pacittiya.
  2. Jika seorang Bhikkhu terpisahkan dari jubah utamanya selama 1 malam, kecuali telah memperoleh izin dari Sangha, maka ia melakukan Nissaggiya Pacittiya.
  3. Jika kain yang dimiliki seorang Bhikkhu untuk membuat sebuah jubah tidaklah cukup, dan jika ia mengharap kain tambahan lagi, dia boleh menyimpan kain yang dimilikinya itu satu bulan lamanya, jika ia menyimpan kain tersebut lebih dari satu bulan, sekalipun ia masih berharap kain tambahan, dia tetap melakukan Nissaggiya Pacittiya.
  4. Jika seorang Bhikkhu menyuruh seorang Bhikkhuni yang tidak ada hubungan kekeluargaan dengannya untuk mencucikan/mencelup jubahnya, maka ia melakukan Nissaggiya Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu menerima jubah dari tangan seorang Bhikkhuni yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengannya kecuali atas dasar tukar menukar, maka ia melakukan Nissaggiya Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu meminta dan memperoleh sebuah jubah dari umat biasa yang bukan keluarganya ataupun tidak memberikan pavarana dia melakukan Nissagiya Pacittiya.
  7. Pavarana : “Suatu istilah yang digunakan dalam Sangha, yang berarti seorang umat biasa telah menawarkan/mengundang seorang Bhikkhu untuk meminta kepadanya kebutuhan apa saja yang diinginkan kecuali umat biasa memberikan batas tawaran tersebut. Berlaku sebulan seperti yang tertulis dalam peraturan Pacittiya no. 7 di dalam acelaka vagga.Bila memperoleh Pavarana seperti ini, seorang Bhikkhu boleh meminta paling banyak satu jubah dalam (antaravasaka) dan sebuah jubah luar (Otarasangha). Jika ia minta/memperoleh lebih banyak dari ketentuan itu, maka ia melakukan Nissagiya Pacittiya.
  8. Jika seorang umat biasa yang bukan keluarga dan belum memberikan Pavarana mengatakan bahwa ia merencanakan memberikan jubah kepada seorang Bhikkhu tertentu, dan setelah Bhikkhu tersebut mengetahui, lalu meminta umat tersebut memberikan jubah yang bagus dan lebih mahal daripada yang direncanakan oleh umat tersebut, dan memberikannya kepada Bhikkhu itu, sehingga Bhikkhu tersebut memperolehnya, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  9. Jika beberapa umat biasa, yang bukan sanak keluarga maupun belum memberikan Pavarana dan telah merencanakan memberikan sebuah jubah kepada seorang Bhikkhu dan jika Bhikkhu tersebut mengatakan sesuatu yang menyebabkan mereka bersama-sama pergi membeli jubah untuk diberikan kepada Bhikkhu tersebut, apabila permintan itu dipenuhi, maka Bhikkhu tersebut melakukan Nissaggiya Pacittiya.
  10. Jika seorang umat mengirim uang dengan maksud untuk membeli jubah bagi seorang Bhikkhu, dan ia ingin mengetahui siapa yang bertugas sebagai pembantu Bhikkhu (Veyyavacca) dan bila Bhikkhu tersebut belum membutuhkan sebuah jubah dia harus menunjuk pembantunya dengan mengatakan: “Orang ini adalah sebagai pembantu Bhikkhu di Vihara ini.” Kemudian umat tersebut memberikan penjelasan kepada pembantu tersebut mengenai tugasnya dan juga memberitahukan kepada Bhikkhu yang bersangkutan, bila membutuhkan jubah baru dapat memintanya kepada pembantu tersebut. Bila Bhikkhu yang bersangkutan telah meminta sebanyak tiga kali dan masih belum juga menerima dari pembantu tersebut walau permintaannya tersebut sampai enam kali, dan setelah meminta lebih dari itu ia lalu baru mendapatkannya, maka ia telah melakukan Nissaggiya Pacittiya.

KELOMPOK KE DUA: KOSIYAVAGGA – Mengenai Kain Sutra.
  1. Jika seorang Bhikkhu menerima sebuah permadani yang terbuat dari bulu domba (wol) yang bercampur dengan kain sutra, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  2. Jika seorang Bhikkhu menerima permadani yang keseluruhannya terbuat dari wol berwarna hitam, maka ia melakukan Nissagiya Pacittiya.
  3. Jika seorang Bhikkhu akan membuat sebuah permadani (kain untuk duduk bersila) yang baru, dia harus mempergunakan sebagian wol putih sebagian wol merah dan dua bagian wol hitam. Dan jika ia mempergunakan lebih dari dua bagian wol hitam, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  4. Seorang Bhikkhu yang telah menerima sebuah permadani baru harus mempergunakannya selama enam tahun, apabila ia memakai permadani tersebut lebih dari enam tahun, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu akan menerima permadani lain yang baru (setelah enam tahun) dia harus mengambil sebagian permadani yang lama dan menggabungkannya pada permadani yang baru dengan maksud untuk mengurangi keindahan permadani yang baru itu, jika ia tidak menjalankannya maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu sedang bepergian dan di pedalaman seorang memberikan kain wol dan ia menginginkannya dan menerimanya, jika tak ada seorangpun yang membawakannya dia boleh membawanya sejauh 3 yojana (15 Km), jika ia membawa sendiri lebih dari 3 yojana maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  7. Jika seorang Bhikkhu menyuruh seorang Bhikkhuni yang tak mempunyai hubungan keluarga dengannya, mencuci, mencelup, atau menggosok kain wol, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  8. Jika seorang Bhikkhu menerima uang/emas/perak dengan tangannya sendiri atau menyuruh orang lain menerimanya, atau merasa gembira dengan uang yang disimpannya untuk Bhikkhu tersebut, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  9. Jika seorang Bhikkhu terlibat dalam jual beli dengan mempergunakan uang (apa saja yang dapat dipergunakan dengan uang) maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  10. Jika seorang Bhikkhu mengadakan tukar menukar barang tanpa mempergunakan uang, dengan orang awam, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.

KELOMPOK KE TIGA : PATTAVAGGA – Mengenai Mangkok/bowl/Pata.
  1. Sebuah mangkok yang disimpan oleh seorang Bhikkhu, di samping mangkok yang telah ditetapkannya, untuk dipergunakan selama hidup (di adhittana) disebut bowl atau mangkok extra, seorang Bhikkhu dapat menyimpannya selama 10 hari, dan bila ia menyimpannya lebih dari 10 hari, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  2. Jika seorang Bhikkhu memiliki sebuah mangkok yang telah retak, dan tak perlu diperbaiki lagi dengan keseluruhan retak yang lebarnya kurang dari 10 jari, kemudian dia meminta sebuah mangkok yang baru dari seorang umat biasa yang tak mempunyai hubungan keluarga dengannya dan belum memberikan Pivarana, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  3. Bila seorang Bhikkhu telah menerima secara langsung dengan tangannya, salah satu dari lima macam obat-obatan …. (ghee) mentega, minyak, madu dan sirup boleh menyimpannya untuk dipergunakan, paling lama 7 hari, jika dia menyimpannya lebih dari 7 hari, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  4. Bila masih ada 1 bulan musim panas, seorang Bhikkhu boleh mencari sebuah jubah untuk mandi yang dipakai untuk musim hujan, dalam jangka waktu setengah bulan musim panas, diperbolehkan untuk mandi atau mempergunakannya. Jika menggunakan sebelum waktunya, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  5. Jika seorang Bhikkhu telah memberikan sebuah jubah kepada seorang Bhikkhu lain, kemudian karena merasa marah lalu memintanya kembali/ menyuruh orang lain untuk mengambilnya, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  6. Jika seorang Bhikkhu meminta benang tenun dari seorang umat biasa yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengannya dan juga tidak memberikan Pavarana kemudian menyuruh memintal benang tenun tersebut menjadi sebuah jubah, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  7. Jika seorang umat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dan juga tidak memberikan Pavarana, menyuruh orang lain memintal sebuah jubah untuk seorang Bhikkhu, dan kemudian Bhikkhu ini mengatakan pada tukang pintal itu bila ia mengerjakannya buatlah yang lebih bagus, dan Bhikkhu akan memberikan hadiah tertentu, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  8. Jika selama sepuluh hari sebelum Pavarana seorang dayaka memberikan sehelai kain untuk Vassa, maka seorang Bhikkhu boleh menerimanya dan menyimpannya, jika ia menyimpannya lebih dari waktu yang disebut ‘waktu jubah’ maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  9. Jika seorang Bhikkhu ingin menjalani musim Vassa di suatu tempat dalam hutan yang terpencil dan ingin menyimpan salah satu dari jubah utamanya di sebuah rumah yang terpisah darl tempat tinggal di mana ia menjalani Vassa itu, dia boleh berbuat demikian paling lama 6 malam dan harus disertai dengan alasan yang cukup. Jika ia menyimpan jubah utamanya di sana lebih dari 6 malam tanpa seizin Sangha, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
  10. Jika seorang Bhikkhu menyuruh secara sengaja seorang untuk memberikan hadiah kepadanya yang sebetulnya diperuntukkan bagi Sangha, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.

SEMBILAN PULUH DUA PACITTIYA.

Dibagi menjadi (9) kelompok.

KELOMPOK PERTAMA : MUSAVADAVAGGA – Mengenai perkataan yang tidak benar.

1. Jika seorang Bhikkhu berdusta/berbohong maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu berbicara dengan kata-kata kasar dan tidak sopan kepada Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang bhikkhu menjelek-jelekkan bhikkhu yang lain, ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang bhikkhu mengajar Dhamma kepada seorang biasa (yang bukan bhikkhu) dengan mengulangi kata demi kata, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang bhikkhu tidur dengan seorang biasa (yang bukan bhikkhu) di suatu tempat yang ada dinding yang mengelilinginya dan di bawah atap yang sama, selama lebih dari 3 malam, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang bhikkhu tidur di bawah satu atap bersama seorang wanita, sekalipun hanya semalam, ia telah melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada seorang wanita, dan berbicara lebih dari enam kata, dia melakukan Pacittiya. Kecuali ada orang laki-laki yang hadir dan mengikuti apa yang dibicarakan.
8. Jika seorang bhikkhu berbicara, bahwa ia telah mencapai tingkat-tingkat di atas manusia biasa (Uttarimanusa-dhamma) yang kenyataannya memang demikian kepada seorang biasa (yang bukan bhikkhu) dia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang bhikkhu memberitahukan kepada seorang biasa (bukan bhikkhu) tentang apatti yang berat dari bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang bhikkhu menggali tanah atau menyuruh pada orang lain untuk menggali tanah, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE DUA : BHUTAGAMAGGA – Mengenai Tumbuh-tumbuhan.

1. Jika seorang bhikkhu memetik dari bagian manapun dari suatu tumbuh- tumbuhan hingga lepas dari tempat tumbuh maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang bhikkhu bersikap secara tidak pantas dan sopan, lalu Sangha memanggilnya untuk dimintakan pertanggungan jawab, tapi ia menjawab secara menghindar atau tidak mau menjawab sama sekali, dan Sangha lalu mengumumkan Kammavaca, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang bhikkhu merendahkan seorang bhikkhu yang lain yang telah ditunjuk oleh Sangha untuk menjalankan tugas-tugas Sangha, dan jika bhikkhu tersebut ternyata dapat menjalankan tugasnya dengan baik, dan penghinaannyapun tidak mempunyai dasar, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang bhikkhu mengambil tempat tidur, bangku, kasur, kursi kepunyaan Sangha dan meletakkannya di tempat terbuka dan kemudian dia terus pergi tanpa mengembalikan/dia pergi tanpa memberitahukan kepada bhikkhu yang bertugas mengurus barang-barang tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang bhikkhu mengambil perlengkapan untuk tidur kepunyaan Sangha, dan menempatkannya di sebuah gubuk milik Sangha, kemudian pergi tanpa mengembalikan perlengkapan-perlengkapan tersebut, atau pun dia pergi tanpa memberitahukan kepada bhikkhu yang bertanggung jawab atas peralatan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang bhikkhu yang mengetahui bahwa sebuah gubuk telah didiami oleh bhikkhu yang lain yang datang lebih dahulu, lalu secara sengaja berbaring di situ dengan harapan supaya bhikkhu yang lain itu berlalu karena melihat tak ada ruang/tempat lain, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang bhikkhu merasa tidak senang dan marah kepada bhikkhu yang lain lalu menyeret, mendorong atau mengusirnya keluar dari gubuk milik Sangha, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika seorang bhikkhu dengan tidak mengindahkan tubuhnya, (berat tubuhnya) duduk di atas tempat tidur yang kakinya tidak begitu kokoh, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu bermaksud memperoleh tanah liat untuk melapis atap sebuah gubuk, dia harus melapis atap itu setebal tiga lapis saja. Bila ia melapis lebih dari jumlah tersebut di atas, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang bhikkhu mengetahui akan adanya makhluk-makhluk hidup dalam suatu tempat yang bisa diisi air lalu menuangkannya di atas tanah atau rumput, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE TIGA : OVADAVAGGA – Kelompok mengenai cara mengajar.

1. Jika seorang Bhikkhu mengajar para Bhikkhuni tanpa memperoleh izin dari Sangha, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Sekalipun memperoleh izin dari Sangha, apabila seorang Bhikkhu mengajar Bhikkhuni setelah matahari terbenam, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu yang pergi mengunjungi tempat tinggal Bhikkhuni, kecuali ada seorang Bhikkhuni yang sakit, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu merendahkan Bhikkhu lain dengan mengatakan bahwa Bhikkhu tersebut mengajar para Bhikkhuni sebab dia mengharapkan hadiah, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu memberikan jubah kepada seorang Bhikkhuni yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengannya, kecuali bila atas dasar tukar menukar, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu menjahit Jubah seorang Bhikkhuni yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengannya, ataupun menyuruh orang lain untuk menjahit jubah Bhikkhuni tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu meminta seorang Bhikkhuni menemaninya di suatu perjalanan akhir sebuah desa, kecuali bila jalan yang akan ditempuh berbahaya, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika scorang Bhikkhu mengajar seorang Bhikkhuni naik perahu dengannya bepergian ke hulu/hilir sungai, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu makan makanan yang diperoleh seorang Bhikkhuni dengan jalan memaksa umat biasa untuk memberinya, kecuali bila umat biasa tersebut telah berniat untuk memberikan makanan kepada Bhikkhu tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu duduk/berbaring di suatu tempat terpencil dengan seorang wanita, tanpa ada orang lain hadir, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE EMPAT : BHOJANAVAGGA – mengenai makanan.

1. Kecuali jika seorang bhikkhu sedang sakit, dia diperbolehkan makah sekali untuk sehari saja di tempat makan umum di mana makanan disediakan kepada siapa saja tanpa ada keistimewaan.
Untuk ini dia harus berpantang makan di tempat tersebut, sedikit-dikitnya sehari dan kemudian boleh makan lagi di sana. Jika ia makan di sana selama 2 hari/lebih berturut-turut, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Dayaka mengundang seorang bhikkhu untuk makan salah satu dari lima macan makanan, nasi, kue, ikan atau daging, dan jika empat orang Bhikkhu atau lebih pergi menerima undangan itu/memakannya di sana, maka ia melakukan Pacittiya. Terkecuali
1. sedang sakit,
2. waktu jubah,
3. waktu membuat jubah,
4. sedang menempuh perjalanan jauh,
5. sedang bepergian dengan kapal,
6. jika banyak Bhikkhu yang Pindapata, sehingga makanannya tak cukup untuk dimakan.
7. makanan yang diberikan oleh petapa.
3. Jika seorang Bhikkhu diundang untuk makan di suatu tempat tertentu tetapi bukannya pergi menerima undangan tersebut, melainkan pergi menerima di tempat lain, maka ia melakukan Pacittiya.
Kecuali yaitu bila sebelumnya, dia menyampaikan undangan tersebut kepada Bhikkhu lain yang akan pergi sebagai gantinya, atau ia sedang sakit, atau pula bila waktu tersebut merupakan waktu untuk membuat jubah.
4. Jika seorang Bhikkhu pergi Pindapata ke sebuah rumah dan seorang umat awam memberikan sejumlah besar makanan, dia diperbolehkan menerimanya, hingga tiga mangkok penuh.
Jika ia menerimanya lebih dari jumlah tersebut, maka ia melakukan Pacittiya. (makanan yang diterimanyapun harus dibagi-bagikan kepada Bhikkhu yang lain).
5. Jika seorang Bhikkhu telah makan di suatu tempat tertentu dan kemudian masih menerima undangan untuk makan dan ditolaknya, dan kemudian ia pergi dari tempat itu untuk makan di tempat lain yang belum dimakan oleh seorang Bhikkhu yang sakit, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu mengetahui bahwa Bhikkhu yang lain telah menolak undangan makan (karena mematuhi peraturan) yang di atas dan keinginan mencari kesalahan Bhikkhu yang jujur itu, lalu makan yang belum dimakan oleh seorang Bhikkhu yang sakit dan juga mengajak Bhikkhu yang jujur itu untuk ikut makan dan jika ia berhasil dalam usahanya itu, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu makan diluar jangka waktu yang telah ditentukan yaitu dari tengah hari hingga fajar pada keesokan harinya, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika seorang Bhikkhu makan makanan yang telah diberikan kepadanya/ secara langsung diterima dengan tangannya sendiri/Bhikkhu lain, pada hari sebelumnya, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu meminta makanan-makanan dari salah satu makanan berikut ini, nasi, mentega, minyak, madu, air jeruk, ikan, daging, susu sapi, dari seorang umat awam yang tidak mempunyai kekeluargaan/tidak memberikan Pavarana dan jika ia menerima dan memakannya, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu makan makanan dari seorang umat awam, tanpa menyerahkannya secara langsung ke tangannya/kepada Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
Kecuali air murni/air hujan yang belum dimasak serta tusuk gigi.

KELOMPOK KE LIMA : ACELAKAVAGGA – Mengenai petapa telanjang.

1. Jika seorang Bhikkhu memberikan makan kepada orang lain dengan tangannya sendiri, sedang orang itu ditabiskan dalam agama yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu mengajak Bhikkhu lain pergi Pindapata dengannya, karena keinginan untuk berbuat sesuatu yang tidak pantas lalu mengusir Bhikkhu lain itu, maka ia rnelakukan Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu duduk bersama (bercampur) dengan keluarga yang sedang makan, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu duduk bercakap-cakap dengan seorang wanita di suatu tempat/ruangan tanpa ada seorang laki-laki yang hadir, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu duduk di suatu tempat terbuka dengan seorang wanita dan hanya mereka berdua, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu telah menerima undangan untuk makan di suatu tempat dan mau pergi ke tempat yang lain, baik sebelum/sesudahnya makan di tempat tersebut, dia harus memberitahukan kepada bhikkhu lain yang bertugas dalam hal ini dimana ia bertinggal, jika ia tidak memberitahukan, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang awam memberikan Pavarana mengenai empat macam kebutuhan, seorang Bhikkhu diperbolehkan meminta kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam jangka waktu empat bulan terhitung dari saat tawaran tersebut diumumkan, jika ia minta barang-barang kebutuhan tersebut setelah empat bulan berlalu, kecuali bila tawarannya diperpanjang untuk seumur hidup, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika seorang Bhikkhu melihat sepasukan tentara yang berbaris menyiapkan diri untuk berperang, kecuali bila ada alasan yang kuat, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Seandainya ada alasan kuat yang mendesaknya untuk pergi tinggal bersama tentara, ia diperbolehkan tinggal selama tiga hari, lebih dari itu ia melakukan Pacittiya.
10. Selagi tinggal bersama tentara bila ia pergi melihat pertempuran, melihat mereka berlatih, melihat mereka untuk berperang/melihat tentara berbaris dan bersiap-siap untuk berperang, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE ENAM : SURAPANAVAGGA – mengenai minuman keras.

1. Jika seorang Bhikkhu minum minuman keras yang memabukkan, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu mengkritik Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu berenang di air untuk bersenang-senang, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu menunjukkan sifat/memperlihatkan keras kepala akan pelaksanaan Vinaya, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu menakut-nakuti bhikkhu yang lain, membuatnya takut pada hantu, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu tidak menderita sesuatu demam menyalakan api dan menyuruh orang lain untuk menyalakan api untuk maksud menghangatkan tubuhnya, maka ia melakukan Pacittiya. Jika menyalakan api baik tidak merupakan pelanggaran.
7. Jika seorang Bhikkhu tinggal di Majjhima desa (tempat yang terletak di propinsi tengah di India yang sulit airnya) dia diperbolehkan mandi setiap lima belas hari saja. Jika ia mandi lebih dari jangka waktu tersebut, kecuali dalam soal-soal yang penting/mendesak, maka ia melakukan Pacittiya. Di negara-negara lain diperbolehkan mandi tanpa ada pelanggaran.
8. Jika seorang Bhikkhu baru saja memperoleh kain jubah yang baru, dia harus memberi tanda pada kain tersebut dari salah satu 3 warna yang diizinkan sebelum memakai kain yang berwarna yang diperbolehkan meliputi : biru, coklat tua atau warna lumpur. Jika tidak memberikan tanda sebelum mempergunakan maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu menggabungkan sebuah jubah/yang lebih dari ketentuan dengan Samanera yang lain/Bhikkhu, lalu memakainya tanpa setahu kawan/yang menggabungkan tersebut/tanpa memberikan izin memakainya, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu menyembunyikan salah satu milik Bhikkhu yang lain, berupa mangkok, jubah, kain untuk duduk, jarum, ikat pinggang sekalipun untuk bermain-main, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE TUJUH : SAPPANAVAGGA – Mengenai makhluk-makhluk Hidup.

1. Jika seorang Bhikkhu membunuh dengan sengaja makhluk hidup apapun, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu mengetahui ada makhluk-makhluk hidup di dalam air, tetap mempergunakan air itu, dalam mangkuk/gelas, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu telah mengetahui bahwa sesuatu pasal yang sah dalam Sangha telah diselesaikan dan dirundingkan dengan teliti lalu membicarakannya lagi untuk dirundingkan kembali, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu mengetahui akan suatu apatti yang berat bagi seorang bhikkhu yang lain, dan lalu menyembunyikannya, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu secara sadar bertindak sebagai seorang Upajjhaya di dalam suatu Upasampada dari seorang pemuda yang belum berusia dua puluh tahun, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu secara sadar mengajak seorang pedagang yang menghindari pemungutan bea dan cukai/seperti penyelundup untuk menempuh suatu perjalanan bersama sekalipun hanya sejauh sejarak desa kecil, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu membujuk seorang wanita untuk menempuh suatu perjalanan, dengan bersama-sama sekalipun hanya sejauh sejarak desa kecil, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika seorang Bhikkhu mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan sesuatu khotbah dari Sang Buddha, dan kemudian Bhikkhu-Bhikkhu yang lain melarangnya berbuat demikian, tetapi dia tetap tidak mau mempedulikannya, dan jika Sangha mengumumkan Kammavaca sebanyak 3X, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu bergaul rapat dengan Bhikkhu semacam itu/ nomor 8, yang berarti mereka makan sama-sama menjalankan Uposatham Sanghakamma sama, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu bergaul rapat dengan seorang Samanera yang telah dicela oleh Bhikkhu lain karena Samanera tersebut telah membicarakan hal-hal yang bertentangan dengan Dhammadesana Sang Buddha, maka ia melakukan Pacittiya. (bergaul secara rapat di sini berarti Sang Bhikkhu menyuruh Samanera semua tugas-tugasnya/Upathaka = makan bersama ataupun tidur bersama, maka ia melakukan Pacittiya).

KELOMPOK KE DELAPAN : SAHADHAMMIKAVAGGA – Mengenai hal yang sesuai dengan Dhamma

1. Jika seorang Bhikkhu mempunyai tingkah laku yang salah dan seorang Bhikkhu lain mengingatkannya tetapi ia tak mau menerima peringatan dengan menunda-nunda, dengan mengatakan bahwa ia harus lebih dahulu menanya seseorang lain yang ahli dalam Vinaya sebelum dia menerima peringatan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
Biasanya seorang bhikkhu yang masih di bawah bimbingan, bila menemukan sesuatu yang tidak diketahui, padahal harus diketahuinya, dia harus segera menanyakan hal tersebut kepada Bhikkhu yang lain yang ahli Vinaya.
2. Jika seorang Bhikkhu mengucapkan kata-kata yang terlalu berat dan tidak ada gunanya peraturan-peraturan yang dalam Patimokha pada saat Bhikkhu lain sedang membacakan peraturan-peraturan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu terbukti melakukan apatti; tetapi pada saat membacakan Patimokha pura-pura berkata: “baru sekarang ini saya mengetahui apa bila ada peraturan sedemikian itu dalam Patimokha” dan jika Bhikkhu yang lain mengetahui peraturan tersebut, maka ia segera mengumumkan ini, ternyata ia masih pura-pura tidak tahu lagi, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu yang merasa marah, lalu memukul Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu yang merasa seolah-olah mau memukul Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu tidak berdasarkan bukti yang kuat menuduh seorang Bhikkhu lain melakukan Sanghadisesa, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu dengan sengaja menimbulkan kekuatiran/kecemasan pada Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika sekelompok Bhikkhu sedang bertengkar, lalu seorang Bhikkhu pergi mendengarnya dengan diam-diam apa yang sedang mereka perdebatkan dengan maksud untuk mengetahui apa yang mereka katakan, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu telah menyetujui dan bersedia memegang peranan dalam suatu pengumuman resmi Sangha yang sesuai dengan Dhamma, tapi kemudian berbalik dan malahan mengkritik dan mencela Sangha yang menginginkan pengumuman resmi tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Bila Sangha mengadakan pertemuan membicarakan suatu pokok persoalan dan jika seorang Bhikkhu yang hadir dalam pertemuan tersebut meninggalkan pertemuan sebelum pokok persoalan itu diselesaikan, atau pula tanpa memberikan pendapat (suaranya) sebelum meninggalkan pertemuan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
11. Jika seorang Bhikkhu bersama-sama Bhikkhu yang lain, membentuk suatu kelompok yang menyetujui akan memberikan sebuah jubah sebagai hadiah Bhikkhu yang lain dan kemudian berbalik mencela dan mengkritik Bhikkhu-bhikkhu lain dalam kelompok itu dengan mengatakan: “mereka memberikan jubah dengan suatu maksud”, maka ia melakukan suatu Pacittiya.
12. Jika seorang Bhikkhu sengaja mengatur pemberian hadiah kepada seorang yang lain, sedang dayaka tersebut akan memberikan hadiah itu untuk Sangha, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE SEMBILAN: RATANAVAGGA – Mengenai kekayaan.

1. Jika seorang Bhikkhu tanpa terlebih dahulu mendapat izin memasuki suatu ruangan dimana seorang Raja dan para pengiringnya berada di dalamnya, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu melihat barang-barang kepunyaan seorang umat awam yang tercecer di atas tanah lalu mengambilnya dan menyimpannya untuk dirinya sendiri ataupun dia menyuruh orang lain untuk memungutnya, maka ia melakukan Pacittiya.
Kecuali bila barang tersebut jatuh di dalam lingkungan Vihara atau di tempat dia tinggal, dia harus memungut dan menyimpan untuk dikembalikan kepada si pemiliknya. Bila ia tidak menyimpannya dan membiarkan barang tersebut di situ, maka ia melakukan Dukkata.
3. Jika seorang Bhikkhu tanpa terlebih dahulu memberitahukan kepada Bhikkhu yang lain yang tinggal di vihara atau di tempat yang sama, pergi ke suatu tempat dimana ada umat awam tinggal, maka ia melakukan Pacittiya. Kecuali ada urusan yang tiba-tiba dan sangat mendesak hingga ia harus pergi dengan segera.
4. Jika seorang Bhikkhu membuat sendiri/meminta dibuatkan sebuah tempat penyimpanan jarum yang terbuat dari tulang, gading/tanduk binatang lainnya, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu ingin mempergunakan sebuah tempat tidur/bangku harus diperhatikan bahwa tingginya tidak boleh lebih dari delapan sugata (sembilan inci)/22 ½ cm, jika tinggi kakinya melebihi ini maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu memiliki sebuah tempat tidur atau bangku yang dilapisi kapuk, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu membuat kain tempat duduk/nisidana harus diperhatikan bahwa ukurannya adalah sebagai berikut : panjang dua sugata, lebar 1 ½ sugata dan mempunyai sisi sebagai batasnya satu sugata. Jika ukurannya melebihi ukuran yang telah ditentukan, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika seorang Bhikkhu membuat kain untuk menutupi luka, harus diperhatikan bahwa ukurannya sebagai berikut : panjang empat sugata, lebar dua sugata, jika dibuat lebih dari yang telah ditentukan, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu membuat kain untuk mandi selama musim vassa/ hujan harus diperhatikan bahwa ukurannya sebagai berikut : panjang enam sugata, lebar dua setengah sugata. Jika ia membuat yang melebihi ukuran yang telah ditentukan maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu membuat jubah yang lebih besar dari ukuran yang telah ditentukan, maka ia telah melakukan Pacittiya. Ukuran panjang sebenarnya sembilan sugata dan lebar enam sugata.

EMPAT PATIDESANIYA.

1. Jika seorang Bhikkhu menerima makanan dengan secara langsung dengan tangannya sendiri dari seorang Bhikkhuni yang tak mempunyai hubungan kekeluargaan dengannya, maka ia melakukan Patidesaniya.
2. Jika sekelompok Bhikkhu sedang makan makanan di suatu tempat di mana mereka diundang, kemudian seorang Bhikkhuni muncul dan memerintahkan memindahkan makanan itu dari tempat ke tempat lain, maka ia harus memerintahkan pada Bhikkhuni tersebut untuk menghentikan tindakan itu. Bila mereka tak melakukan hal ini, maka ia melakukan Patidesaniya.
3. Jika seorang Bhikkhu yang tidak sakit dan juga tidak diundang menerima makanan dari satu keluarga yang dianggap oleh Sangha sebagai SEKHA (telah mencapai tingkat kesucian tertentu)/ariya, tapi masih di bawah latihan dan makan makanan yang diberikan, maka ia melakukan Patidesaniya.
4. Jika seorang Bhikkhu tinggal di suatu hutan lebat dan ia tidak sakit dan ia tak menerima makanan dengan tangannya sendiri dari seseorang pembantunya dan memakannya tanpa memberitahukan dahulu bahwa ia akan datang dan tanpa terlebih dahulu si pembantu tersebut, mengetahui keadaan tempatnya, maka ia melakukan Patidesaniya.

75 SEKHIYA VATTA – peraturan untuk melatih diri.

Latihan yang harus dilaksanakan oleh para Bhikkhu untuk melatih diri disebut Sekhiya – vatta.
Sekhiya vatta ini terdiri dari 4 kelompok.
Kelompok pertama disebut Saruppa – mengenai sikap tingkah laku yang tepat.
Kelompok kedua disebut Bhojanapatisamyuta – mengenai makanan.
Kelompok ketiga disebut Dhammadesana-patisamyuta – mengenai cara mengajarkan Dhamma.
Kelompok keempat disebut Pakinnaka – mengenai berbagai peraturan.

KELOMPOK PERTAMA : SARUPPA – mengenai sikap tingkah laku yang tepat.

1. Saya akan mengenakan jubah dalam secara rapih.
2. Saya akan mengenakan jubah luar secara rapih.
3. Saya menutupi jubah saya dengan rapi, bila pergi ke tempat masyarakat umum.
4. Saya menutupi tubuh saya dengan rapi, bila duduk, di tempat masyarakat umum.
5. Saya mengendalikan segala gerakan-gerakan tubuh saya dengan hati-hati sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
6. Saya mengendalikan segala gerakan tubuh saya sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
7. Saya akan menjaga arah pandangan mata saya ke arah bawah selalu, sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
8. Saya akan menjaga arah pandangan mata saya ke arah bawah selalu sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
9. Saya tidak akan menyingsingkan jubah ke atas sewaktu pergi ke tempat suatu masyarakat umum.
10. Saya tidak akan menyingsingkan jubah ke atas, sewaktu duduk di tempat suatu masyarakat umum.
11. Saya takkan tertawa dengan keras, sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
12. Saya tak tertawa dengan keras, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
13. Saya takkan bicara dengan keras, sewaktu pergi ke tempat umum.
14. Saya takkan bicara dengan keras, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
15. Saya takkan menggoyang-goyangkan tubuh saya, sewaktu pergi ke tempat umum.
16. Saya takkan menggoyang-goyangkan tubuh saya, sewaktu duduk di tempat umum.
17. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan sewaktu ke tempat masyarakat umum.
18. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan saya, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
19. Saya takkan menggoyang-goyangkan kepala, sewaktu ke tempat masyarakat umum.
20. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan saya, sewaktu duduk bersama di tempat umum.
21. Saya tak bertolak pinggang, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
22. Saya takkan bertolak pinggang, sewaktu ke tempat umum.
23. Saya takkan menutupi kepala saya dengan kain, sewaktu ke tempat masyarakat umum.
24. Saya takkan menutupi kepala saya, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
25. Saya takkan berjalan berjingkat-jingkat sewaktu berjalan di tempat masyarakat umum.
26. Saya takkan memeluk lutut sewaktu duduk bersama masyarakat umum.

KELOMPOK KEDUA : BH0JANAPATISAMYUTA – mengenai peraturan.

1. Saya akan menerima makanan pindapata dengan hati-hati dan penuh perhatian.
2. Pada waktu menerima makanan pindapatta, saya akan melihat ke arah mangkok pindapata saja.
3. Saya akan menerima lauk pauk dalam jumlah yang sesuai dengan nasi yang saya terima.
4. Saya akan menerima makanan sesuai dengan mangkok saya/tidak berlebih-lebihan sehingga tumpah.
5. Saya akan makan makanan pindapata dengan hati-hati dan penuh perhatian.
6. Saya akan melihat mangkok saya sendiri sewaktu makan.
7. Saya akan makan makanan pindapata dengan merata.
8. Saya akan makan lauk pauk berimbang dengan nasi.
9. Saya takkan mengambil makanan/nasi dari atas ke bawah.
10. Saya takkan menyembunyikan lauk pauk di bawah nasi dengan maksud untuk mendapat lebih banyak.
11. Saya takkan meminta nasi atau lauk pauk untuk kepentingan diri sendiri kecuali sedang sakit.
12. Saya tidak akan melihat dengan iri hati pada mangkuk orang lain.
13. Saya takkan membuat sebuah suapan yang besar.
14. Saya akan membuat sebuah suapan yang bulat.
15. Saya takkan membuka mulut saya sebelum suapan makanan dekat sekali dengan mulut.
16. Saya takkan memasuki jari tangan saya ke dalam mulut sewaktu menyuap makanan.
17. Saya takkan bicara dengan mulut penuh makanan.
18. Saya takkan makan dengan melemparkan makanan ke dalam mulut.
19. Saya takkan makan dengan menggigit-gigit bongkahan nasi.
20. Saya takkan makan dengan menggembungkan pipi.
21. Saya takkan menggoyang-goyangkan tangan pada saat sedang makan.
22. Saya takkan menjatuhkan/menghambur-hamburkan butir-butir nasi di waktu makan.
23. Saya takkan menjulurkan lidah selagi makan.
24. Saya takkan menimbulkan bunyi kecap selama sedang makan.
25. Saya takkan makan dengan menimbulkan bunyi seolah-olah mengisap (karena berkuah).
26. Saya takkan menjilat tangan sewaktu makan.
27. Saya takkan mengeruk dasar mangkok dengan jari-jari tangan, untuk menimbulkan kesan sudah hampir habis makan.
28. Saya takkan menjilat bibir sewaktu makan.
29. Saya takkan membuang air pencuci mangkok, yang berisi butir nasi di daerah yang ada penduduknya.
30. Saya takkan menerima mangkok dari barang pecah belah/yang berisi minuman selagi tangan kotor dengan makanan.

KELOMPOK KETIGA: DHAMMADESANAPATISAMYUTA – mengenai cara mengajarkan Dhamma.

Seorang Bhikkhu harus melatih diri mengajarkan Dhamma dengan cara sebagai berikut :
Saya takkan mengajarkan Dhamma kepada, orang yang tak sakit, tatkala :

1. Memegang sebuah payung di tangannya.
2. Memegang sebuah tongkat/pemukul di tangannya.
3. Memegang pisau/senjata tajam di tangannya.
4. Memegang sebuah senjata/apapun di tangannya.
5. Memegang sandal di kakinya.
6. Memegang/memakai sepatu di kakinya.
7. Berada di atas sebuah kendaraan yang sempit sekali.
8. Berbaring di atas tempat tidur.
9. Duduk dengan memeluk lutut.
10. Memakai penutup/ikat kepala/turban.
11. Kepalanya terbungkus.
12. Duduk di atas kursi sedang saya duduk di atas tanah.
13. Duduk di atas tempat duduk yang tinggi sedang saya duduk di tempat yang rendah.
14. Sedang bejalan di depan sedangkan saya berjalan di belakang.
15. Sedang duduk sedang saya berdiri.
16. Sedang berjalan di jalan, sedangkan saya berjalan di luar/di tepi jalan.

KELOMPOK KEEMPAT: PAKINNAKA – aneka macam peraturan.

Seorang Bhikkhu harus melatih diri, sebagai berikut :
Jika saya tidak sakit,

1. Saya tidak akan membuang air besar/air kecil sambil berdiri.
2. Saya tidak akan membuang air besar, air kecil atau pun meludah pada tumbuh-tumbuhan.
3. Saya tidak akan membuang air besar, air kecil atau meludah di dalam/ di luar air.

7 ADHIKARANA SAMATHA

Adhikarana Samatha adalah sidang Sangha yang harus dihadiri sekurang-kurangnya oleh 20 orang Bhikkhu, untuk mengadili/memutuskan kesalahan/ pelanggaran yang telah dilakukan oleh seorang Bhikkhu, atau dengan pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha.

1. Penyelesaian Adhikarana tersebut di atas di hadapan Sangha, di hadapan seseorang, di hadapan benda yang bersangkutan dan di hadapan Dhamma.
2. Pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha bahwa seseorang yang telah mencapai Arahat, adalah orang yang penuh kesadaran, agar tak seorang pun menuduhnya melakukan Apatti.
3. Pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha bagi seorang Bhikkhu yang sudah sembuh dari sakit jiwa agar tidak seorang pun menuduhnya melakukan Apatti yang mungkin ia lakukan ketika ia masih sakit jiwa.
4. Penyelesaian suatu Apatti sesuai dengan pengakuan yang diberikan oleh si tertuduh yang mengakui secara jujur apa yang telah dilakukannya.
5. Keputusan dibuat sesuai dengan suara terbanyak.
6. Pemberian hukuman kepada orang yang melakukan kesalahan.
7. Pelaksanaan perdamaian antara dua pihak yang berselisih tanpa terlebih dahulu dilakukan penyelidikan tentang perselisihan itu.

Sumber : http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/vinaya-pitaka/suttavibhanga/

Read More..

Sabtu, 15 Januari 2011

MITACINTI-JĀTAKA

MITACINTI-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Mereka berdua terperangkap,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai dua orang thera yang telah tua. Setelah menghabiskan masa wassa di hutan dekat sebuah desa, mereka memutuskan untuk menemui Sang Guru, dan mengumpulkan perbekalan untuk perjalanan mereka. Namun mereka terus menunda keberangkatan mereka hari demi hari, hingga sebulan telah berlalu.

Kemudian mereka menyiapkan bekal yang baru, dan menunda-nunda lagi hingga bulan kedua berlalu, dan bulan ketiga. Ketika kelambanan dan kemalasan mereka telah membuat mereka kehilangan waktu sebanyak tiga bulan, mereka memulai perjalanan dan tiba di Jetawana. Setelah meletakkan patta dan jubah mereka di tempatnya, mereka menemui Sang Guru. Para bhikkhu yang melihat lamanya waktu setelah kunjungan terakhir mereka untuk menemui Sang Guru, menanyakan alasannya. Kemudian [427] mereka menceritakan kejadian tersebut dan semua bhikkhu menjadi tahu tentang kemalasan bhikkhu-bhikkhu yang lamban ini.

Berkumpul bersama di Balai Kebenaran, para bhikkhu membicarakan hal ini. Sang Guru masuk ke dalam balai tersebut dan diberitahukan mengenai apa yang sedang mereka bicarakan. Ketika ditanya apakah mereka benar-benar begitu lamban, mereka mengakui kelemahan mereka. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “di kehidupan yang lampau, tidak beda dari sekarang, mereka adalah orang yang lamban dan malas untuk meninggalkan kediaman mereka.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

____________________

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, di sebuah sungai terdapat tiga ekor ikan, yang bernama Bahucintī (Terlalu Bijaksana), Appacintī (Bijaksana), dan Mitacintī (Tidak Bijaksana). Mereka menuruni sungai dari alam bebas menuju ke tempat hunian manusia.

Di sini, Appacintī berkata kepada kedua ekor ikan lainnya, “Ini adalah lingkungan yang berbahaya dan tidak aman, tempat para nelayan menangkap ikan dengan menggunakan jaring, perangkap berupa keranjang, maupun alat lainnya. Mari kita kembali ke alam bebas lagi.”

Namun kedua ikan itu terlalu malas, dan terlalu serakah, sehingga mereka terus menerus menunda kepergian mereka dari hari ke hari, hingga akhirnya tiga bulan telah berlalu. Saat itu para nelayan melemparkan jaring ke sungai; Bahucintī dan Mitacintī sedang berenang untuk mencari makanan saat dengan bodohnya mereka secara membabi buta menyerbu masuk ke dalam jaring. Appacintī, yang berada di belakang, sedang memperhatikan jaring tersebut, melihat nasib kedua ekor ikan itu.

“Saya harus menyelamatkan kedua pemalas yang bodoh itu dari kematian,” pikirnya. Mula-mula ia mengitari jaring tersebut, kemudian ia membuat percikan air di depan jala itu seperti ikan yang terlepas dari jaring dan kemudian lenyap di sungai; kemudian ia berputar ke belakang, memercikkan air di belakang jala; seperti ikan yang terlepas dari jaring dan ditelan arus. Melihat hal itu, para nelayan mengira ikan-ikan itu telah merusak jaring dan semuanya telah lari; maka mereka menarik jaring itu pada salah satu sudutnya dan kedua ikan itu pun terlepas dari jaring, kembali ke sungai yang bebas. Dengan cara tersebut mereka berhutang nyawa pada Appacintī.

___________________

Setelah menceritakan kisah tersebut, Sang Guru sebagai seorang Buddha, mengucapkan syair berikut ini: —

[428] Mereka berdua terperangkap di dalam jala nelayan;
Appacintī menyelamatkan mereka dan bebas kembali.

Uraian tersebut berakhir, dan Empat Kebenaran Mulia telah dibabarkan oleh-Nya (di akhir khotbah, bhikkhu-bhikkhu tua itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna); Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata: “Kedua bhikkhu ini adalah Bahucintī dan Mitacintī, dan Saya adalah Appacintī.”

Sumber : http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/mitacinti-jataka/#more-8187
Read More..

Kamis, 13 Januari 2011

Daftar Isi Paritta Suci

ZIP file ini berisi susunan paritta yang dipergunakan dalam upacara-upacara ritual para umat serta simpatisan Buddhis binaan Sangha Theravada Indonesia.
Paritta dalam upacara ritual itu meliputi bacaan Paritta pada saat mengandung, menjelang kelahiran dst.

 Sumber : http://samaggi-phala.or.id/download/paritta
Read More..

Sejarah Tipitaka

Sejarah Tipitaka
Kanon Pali atau Tipitaka berarti tiga keranjang penyimpanan Kanon (Kitab Suci). Selama beberapa abad sabda-sabda Sang Buddha disampaikan dengan turun temurun dengan lisan saja, yaitu dengan jalan menghafalkannya di luar kepala. Ajaran Sang Buddha dibukukan beberapa ratus tahun setelah Sang Buddha mencapai Parinibbana.

Segera setelah Buddha Gotama mencapai Parinibbana, diadakanlah Sidang Agung (Sangha-samaya) pertama di Gua Satapana, di kota Rajagaha (343 S.M.). Sidang ini dipimpin oleh Y.A. Kassapa Thera. Sidang ini dihadiri oleh 500 orang bhikkhu yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat. Sidang ini bertujuan menghimpun ajaran-ajaran Buddha Gotama yang diberikan di tempat-tempat yang berlainan, pada waktu-waktu yang berbeda dan kepada orang-orang yang berlainan pula selama 45 tahun. Dalam sidang tersebut Y.A. Upali mengulang tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni (Vinaya) dan Y.A. Ananda mengulang khotbah-khotbah (Sutta) Buddha Gotama. Ajaran-ajaran ini dihafalkan di luar kepala dan diajarkan lagi kepada orang lain dari mulut ke mulut.


Sidang Agung kedua diselenggarakan di kota Vesali lebih kurang 100 tahun kemudian (kira-kira 43 S.M.). Sidang ini diadakan untuk membicarakan tuntutan segolongan bhikkhu (golongan Mahasangika), yang menghendaki agar beberapa paraturan tertentu dalam Vinaya, yang dianggap terlalu keras, diubah atau diperlunak. Dalam sidang ini golongan Mahasangika memperoleh kekalahan dan sidang memutuskan untuk tidak mengubah Vinaya yang sudah ada. Pimpinan sidang ini adalah Y.A. Revata.

Lebih kurang 230 tahun setelah Sidang Agung pertama, diselenggarakan Sidang Agung ketiga di ibu kota kerajaan Asoka, yaitu Pataliputta. Sidang ini dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta dan bertujuan menertibkan beberapa perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan di dalam Sangha. Di samping itu, sidang memeriksa kembali dan menyempurnakan Kanon (Kitab Suci) Pali. Dalam Sidang Agung ketiga ini, ajaran Abhidhamma diulang secara terperinci, sehingga dengan demikian lengkaplah sudah Kanon Pali yang terdiri atas tiga kelompok besar, meskipun masih belum dituliskan dalam kitab-kitab dan masih dihafal di luar kepala. Golongan para bhikkhu yang terkena penertiban meninggalkan golongan Sthaviravada (pendahulu dari golongan yang sekarang dikenal sebagai Theravada) dan mengungsi ke arah Utara.

Sidang Agung keempat diselenggarakan di Srilanka pada 400 tahun setelah Sang Buddha Gotama mangkat. Sidang ini berhasil secara resmi menulis ajaran-ajaran Buddha Gotama di daun-daun lontar yang kemudian dijadikan buku Tipitaka dalam bahasa Pali. Kitab Suci Tipitaka terdiri atas :
A. Vinaya Pitaka
B. Sutta Pitaka
C. Abhidhamma Pitaka


Sumber : http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/
Read More..

Rabu, 12 Januari 2011

Java Dhammapada

Java Dhammapada Chapter 1
Ciputra Sanjaya

Aplikasi berbasikan Java ini bisa dijalankan pada Handphone atau PDA yang mendukung Java application.Silahkan merujuk pada petunjuk Handphone atau PDA anda untuk instalasi program ini.

Sumber : http://dhammacitta.org/perpustakaan/java-dhammapada-chapter-1/#more-194

                                                                                 Download
                                                                             Jar (115.7 KB)

Read More..

BĀHIYA-JĀTAKA


Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Belajarlah engkau dengan tepat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika Beliau menetap di Kūṭāgārasālā 192 di Weluwana (Veḷuvana) dekat Vesāli, mengenai seorang Licchavi, seorang pangeran alim yang memeluk keyakinan ini. Ia mengundang Sanggha dengan Sang Buddha sebagai guru mereka ke rumahnya, dan di sana ia memberikan persembahan yang berlimpah pada mereka. Dan istrinya merupakan seorang wanita yang sangat gemuk dengan rupa yang membengkak, serta selera berpakaian yang jelek.

Berterima kasih atas persembahannya, Sang Guru kembali ke wihara dan setelah memberikan khotbah kepada para bhikkhu, Beliau masuk ke dalam kamarnya yang wangi.
Berkumpul bersama di Balai Kebenaran, para bhikkhu menunjukkan keterkejutan mereka bahwa seseorang seperti Pangeran Licchavi bisa mendapatkan seorang wanita gemuk dengan selera berpakaian yang buruk untuk menjadi istrinya, dan begitu mencintai wanita tersebut. Masuk ke Balai Kebenaran dan mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, seperti sekarang ini, demikian juga di kelahiran sebelumnya, ia mencintai wanita gemuk itu.” Kemudian, atas permohonan mereka, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
[421] Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai salah seorang anggota istana. Dan seorang wanita desa yang gemuk dengan selera berpakaian yang jelek, dan bekerja untuk mendapatkan  upah, sedang lewat di dekat halaman istana, ketika kebutuhan yang mendesak datang padanya. Berjongkok dengan pakaiannya terkumpul secara sopan mengelilingi dirinya, ia menyelesaikan kebutuhannya itu, dan menanamnya dalam sekejab mata.
Pada saat yang sama, raja melihat keluar ke arah halaman istana melalui sebuah jendela, dan melihat kejadian itu. Ia berpikir, “Seorang wanita yang bisa mengatur hal demikian dengan begitu sopan pasti mempunyai kesehatan yang baik. Rumahnya pasti bersih; dan seorang anak yang lahir dalam sebuah rumah yang bersih, pasti akan tumbuh besar dengan sifat pembersih dan juga baik. Saya akan menjadikannya pendamping saya.” Karenanya, raja mula-mula memastikan sendiri bahwa wanita itu bukan milik pasangan orang lain, kemudian mengundangnya menghadap dan menjadikannya sebagai ratu. Dan wanita itu, menjadi orang yang sangat dekat dan sangat disayangi olehnya. Tak lama kemudian, seorang pangeran lahir, dan pangeran inilah yang menjadi raja yang menguasai dunia.
Melihat keberuntungan wanita itu, Bodhisatta mengambil kesempatan untuk berbicara dengan raja, “Paduka, mengapa perhatian tidak diberikan kepada yang memenuhi pandangan dengan keadaan yang semestinya, namun wanita yang hebat ini dengan kerendahan hati dan kesopanannya sewaktu membuang kotoran malah mendapatkan perhatian Paduka dan memperoleh keberuntungan setinggi ini?” Ia melanjutkan dengan mengucapkan syair berikut ini : —
Belajarlah engkau dengan tepat,
para Penduduk yang keras kepala ;
Orang kampung telah menyenangkan raja
melalui kesopanannya.
Demikianlah makhluk yang agung itu memuji kebaikan mereka yang mencurahkan diri untuk mempelajari kesopanan dengan sepantasnya.
____________________
[422] Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Suami istri di masa ini adalah suami istri di masa itu, dan Saya adalah anggota istana yang bijaksana tersebut.”
Catatan kaki :
192 Sebuah balai (ruangan) di Mahāvana. Lihat keterangan selengkapnya di Dictionary of Pali Proper Name, hal. 659. Arti harfiah dari kūṭāgāra adalah bangunan beratap runcing, bangunan bermenara, bangunan bertingkat.

source :http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/bahiya-jataka/
Read More..

BUDDHA SIKKHI

Buddha KEDUA yang disebutkan dalam Atanatiya Paritta.
Buddha Sikkhi dikenal dalam tradisi Pali sebagai Buddha ke 20. Nama ayahnya adalah Arunava dan ibunya adalah Pabhavati. Tempat beliau dilahirkan dinamakan Arunavati. Nama istrinya adalah Sabbakama.
Beliau mempunyai seorang putra bernama Atula. Beliau tinggal di istana-istana Suchanda, Giri dan Vehana selama 7.000 tahun sampai beliau melepaskan kehidupan perumah tangga dengan menunggang seekor gajah. Beliau melakukan latihan keras selama 8 bulan. Tepat sebelum pencerahanNya Beliau menerima nasi susu dari putri Piyadassi-Setthi; dan duduk di tempat duduk yang disediakan oleh Anomadassi. Pohon pencapaian pencerahannya adalah Pundarika (teratai). Beliau menyampaikan kotbah pertamaNya di Taman Migachira dan menunjukkan keajaiban gandaNya di suatu tempat dekat Suriyavati di bawah pohon Champaka. Abhibhu dan Sambhava adalah murid-murid bhikkhu utamaNya; sedangkan Akhila (atau Makhila) dan Paduma adalah murid utama wanitaNya. Pembantu utamaNya adalah Khemankara. Sirivaddha dan Chanda (atau Nanda) adalah pendukung pria utamaNya; dan Chitta dan Sugutta adalah yang utama diantara para pendukung wanita. Beliau hidup selama 70.000 tahun dan meninggal di Dussarama (Assarama) di Silavati. Beliau dinamakan “Sikkhi” karena ikat kepalanya (unhisa) seperti sebuah sikkha (kobaran api). Selama jaman Buddha Sikkhi, Bodhisatva dilahirkan sebagai raja Arindama dan memerintah kerajaan Paribhutta.

Sumber : http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/buddha-sikkhi/

Read More..